Di Indonesia kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat komplek yang memerlukan perhatian semua pihak. Masih adanya stigma dan diskriminasi di masyarakat terhadap penderita kusta dan keluarganya berdampak meluas hingga masalah ekonomi, sosial, budaya, termasuk pada segi medis. Stigmatisasi menyulitkan penyandang kusta dan disabilitas dapat mengakses layanan kesehatan yang layak.
Masih minimnya informasi di unit layanan kesehatan terkait tata cara perawatan dan penanganan pasien kusta serta stigma terhadap kusta di kalangan tenaga kesehatan. Diakui menyebabkan orang dengan kusta tidak mendapatkan layanan kesehatan yang optimal dan enggan berobat. Jika berkelanjutan, kondisi ini tentu dapat berisiko menyebabkan disabilitas pada orang dengan kusta yang tidak diobati dan berpotensi dapat menularkan bakteri kusta kepada sekitarnya.
dr. M Riby Machmoed MPH selaku Technical Advisor Program Leprosy Control NLR Indonesia menyebut penyakit yang disebabkan oleh bakteri leprosy ini, berdampak sosial stigma yang menyasar pada 4 target yaitu 1) orang yang pernah mengalami kusta (oypmk) merasa mau diketahui oleh publik, 2) pihak keluarga malu jika kemudian ada keluarga yang mengalami kusta, 3) tenaga kesehatan masih ada yang merasa takut dan khawatir tertular kusta, 4) Masyarakat yang masih menganggap kusta adalah penyakit kutukan.
Hal ini disampaikannya dalam bincang Ruang Publik KBR pada hari Kamis (28/04) yang bertajuk Dinamika Perawatan Diri dan Pencegahan Disabilitas Pada Kusta di Lapangan. Bersama nara sumber lainnya yaitu Ibu Sierli Natar, S.Kep selaku Wasor TB/Kusta Dinas Kesehatan Kota Makassar. Bincang Ruang Publik juga disiarkan lewat 100 radio jaringan di seluruh Indonesia, dan di Jakarta dapat didengarkan di 104.2 MSTri FM. Siaran Ruang Publik KBR dapat di simak lewat Youtube di channel Berita KBR.
Sementara itu, Sierli Natar, S.Kep dari Wasor TB/Kusta Dinas Kesehatan Kota Makassar menyebutkan tantangan penanganan kusta di lapangan adalah penderita masih melakukan stigma dengan dirinya sendiri serta pemahaman petugas kesehatan yang tidak sama.
“Pasien tidak mau menerima ketika terdiagnosa. Cara merubah adalah memberikan edukasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Kemudian pemahaman semua petugas kesehatan tidak sama. Ada yang benar sudah memahami penyakit kusta, namun ada petugas kesehatan yang tidak memahami. Bagaimana cara merubah mindset petugas kesehatan agar memahami bahwa penyakit kusta menularnya lama, bahwa ketika orang dengan kusta datang berobat, mereka diperlakukan sama dengan pasien lain,”katanya.
Apakah Kusta bisa Disembuhkan?
Kusta terdengar penyakit lama yang hingga sekarang belum bisa dimusnahkan di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah kasus tertinggi di Indonesia saat ini dipegang oleh Jawa Timur sebesar 2139 berdasarkan data tahun 2020. Disusul Jawa Barat 1845 kasus, Papua 1200 kasus , Jawa Barat 1139 kasus, Papua Barat 902 kasus. Indonesia masih berusaha mengeliminasi.
Penularan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae ini melalui pernafasan, udara dan kontak langsung dengan penderita yang belum diobati. Penyakit kusta pada dasarnya dapat disembuhkan asal cepat ditemukan dan cepat diobati. Kunci pencegahan dini penyakit kusta ialah setiap orang haruslah peka terhadap tiap bercak yang ada di kulit, baik bercak putih ataupun merah di kulit.
Sebagaimana yang diutarakan oleh dr. Riby Machmoed MPH bahwa bila ditemukan bercak putih kemerahan dan tidak gatal maupun sakit, kemungkinan gejala kusta. Jika ditemukan kelemahan jari-jari tangan, kaki ataupun kelopak mata yang sudah sulit tertutup rapat, hati-hati gejala kusta. Sebaiknya diperiksa ke layanan kesehatan apakah bercak tersebut mati rasa atau tidak. Kebanyakan penderita tidak ke puskesmas karena merasa bercak-bercak ini tidak sakit dan tidak gatal.
Ia menambahkan gejala kusta juga ditandai dengan reaksi kusta dimana menderita demam ringan sampai sedang, perubahan warna bercak putih menjadi merah, juga sakit pada sendi-sendi serta fungsi syaraf.
Meskipun kusta tidak menyebabkan kematian. Namun hal yang dikhawatirkan adalah kecacatan permanen yang dialami oleh penderita karena dapat menurunkan produktivitas masyarakat. Mari besama deteksi dini tiap bercak yang ada di kulit dan keluarga.
Bagaimana perawatan kusta secara mandiri ?
Lebih lanjut, Sierli Natar, S.Kep menekankan melakukan deteksi dini dengan prinsip 3M (Memeriksa, Melindungi, dan Merawat diri). Maka bila mengamati adanya kelainan, lakukan pemeriksaan untuk mendapatkan perawatan yang tepat.
Adapun cara perawatan diri yang dianjurkan kepada pasien yang mengalami kelainan fungsi syaraf:
- Melakukan perendaman pada daerah-daerah yang mengalami kekebalan menggunakan air biasa.
- Setelah di rendam, di gosok menggunakan alat sederhana batu apung, agar penebalan menjadi berkurang.
- Setelah itu dioleskan dengan minyak kelapa pada daerah-daerah yang mengalami penebalan. Kemudian di lakukan istirahat.
- Jika terdapat luka, maka tutup dengan kain perca.
Perawatan diri harus di lakukan setiap hari dengan ketekunan. Prinsipnya adalah mengusahakan penderita bisa melakukan sendiri, sehingga tidak tergantung pada petugas kesehatan. Dengan pasien melakukan mandiri diharapkan tidak menjadi bertambah cacat.
Perawatan diri penderita kusta dapat di lihat dari dari tingkat kecacatannya. Jika sudah cacat, maka dibutuhkan perawatan diri seumur hidup. Meski pasien nantinya sudah dinyatakan sembuh, namun dapat berisiko bisa kambuh kembali. Untuk itu, pasien diharapkan tidak memutus kontak dengan petugas kesehatan dan rutin melakukan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kecacatan.
“Harus diingat, meskipun sudah minum obat, pasien kusta punya risiko untuk tetap cacat, karena reaksi bisa terjadi sebelum pengobatan. Maka setelah pengobatan, diharapkan setiap tiga bulan tetap melakukan kontak dengan petugas. Untuk pengobatan kusta minimal dua tahun, maksimal 5 tahun. ” ujar dr. Riby Machmoed menambahkan penjelasan.
Pengobatan kusta di unit layanan kesehatan adalah gratis dan di cover oleh BPJS. Meski demikian, dukungan semua pihak sangatlah penting, terutama keluarga untuk memberikan motivasi kepada penderita kusta melakukan pengobatan dan perawatan diri. Petugas kesehatan sendiri diharapkan mampu melakukan tugasnya dalam melakukan pemantauan dan melayani penderita selama menjalani pengobatan.
Mari kita berantas kusta, dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta dukung Indonesia mencapai target yang dicanangkan oleh WHO yakni Zero Leprosy 2030. Bahwa tidak hanya eliminasi, tapi juga zero- tidak lagi ada kusta di tahun 2030.
Comments
Post a Comment