Bendera merah putih tampak berkibar di sepanjang jalan di berbagai daerah. Ini adalah salah satu cara masyarakat merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Namun, arti kemerdekaan menurut setiap orang bisa berbeda, begitu pula menurut OYMPK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) dan penyandang disabilitas.
OYMPK dan ragam penyandang disabilitas lainnya masih tetap terjebak dalam lingkaran stigmatisasi dan diskriminasi dalam kehidupan sosial. Selain mengalami gangguan kesehatan, namun juga menggoyangkan mental dan psikologis bagi OYMPK dan penyandang disabilitas. Tak jarang ditemukan kesulitan dan keterbatasan yang dihadapi oleh karena kurangnya dukungan sosial dari masyarakat. Permasalahan mendasar ini yang menyebabkan mereka masih belum mendapatkan secara penuh kebebasan dan kemerdekaan dala pemenuhan hak hidup.
Ruang Publik KBR bekerja sama dengan NLR Indonesia mengangkat topik ini dalam diskusi pagi yang disiarkan melalui live streaming Youtube pada Rabu, 24 Agustus 2022. Tema “Makna Kemerdekaan bagi OYMPK, seperti apa?” menghadirkan dua orang nara sumber yakni Marsinah Dhede (OYMPK/Aktivitis Difabel & Perempuan), dan Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute).
Ada paparan kisah menarik dari dua nara sumber ini, dimana keduanya merupakan difabel yang mampu bangkit dan berkarya di masyarakat.
Marshina Dhede mengisahkan awal dirinya terinfeksi penyakit kusta saat berusia 8-9 tahun dan masih duduk di bangku SD. Mengindentifikasi sendiri tanda-tanda yang diderita hanya dari mendengarkan berita informasi yang disiarkan oleh radio yang kerap menyiarkan tentang penyebaran kusta. Tidak ada riwayat penderita kusta di keluarga dan lingkungan rumah yang saling berjauhan, hanya ia seorang yang terkena penyakit kusta. Lain ceritanya dengan Dr. Mimi yang mengalami kebutaan di usia 17 tahun akibat efek dari penyakit yang diderita.
Dari keduanya diceritakan bahwa poin paling besar dan penting adalah dukungan keluarga yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Meskipun ketika keluar bertemu dengan masyarakat, tidak dapat terhindari berbagai stigma dan diskriminasi. Sama halnya bila pemerintah, lembaga, kebijakan dan perundang-undangan tidak berpihak pada OYPMK dan penyandang disabilitas. Maka dapat berdampak pada gangguan psikologi mereka, kecemasan dan kekhawatiran terhadap masa depan.
Terkait kemerdekaan dalam mendapatkan pekerjaan, Marsinah menjelaskan bahwa pentingnya affirmative action bagi OYMPK dan penyandang disabilitas. Karena OYMPK dan penyandang disabilitas memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tingkat pengganguran.
“Makanya ini penting untuk affirmative sehingga mereka diberikan peluang untuk bekerja , diberikan peningkatan, kapasitas termasuk soal dukungan dukungan pendidikan” jelasnya.
Lanjut ia memaparkan bahwa stigma yang terus dilestarikan bahkan di dunia kerja akan memperlama pemulihan disabilitas untuk kembali ke masyarakat. Integrasi yang paling penting yang harus dilakukan adalah:
- Harus ada keluarga yang terus memberikan dukungan.
- Ketika usia sekolah, maka berikan pendidikan yang layak
- Ketika di masyarakat, libatkan mereka.
- Pemerintah membuat program-program melalui regulasi dan sosialisasi.
Senada dengan apa yang disampaikan, Dr. Mimi menambahkan bahwa akibat pengetahuan yang salah dan informasi yang keliru, menjadi penyebab utama terjadinya pengucilan, ejekan dan stigmatisasi, yang pada akhirnya membuat gangguan-gangguan pada kejiwaan. Peningkatan sosialisasi di masyarakat menjadi penting agar OYMPK dan penyandang disabilitas dapat kembali ke masyarakat dengan mudah.
“Affirmative-nya sudah ada sekian persen di BUMIN, sekian persen di badan swasta. Mari kita isi, jangan biarkan menjadi lingkaran yang terputus” tegasnya.
Ia pun menambahkan bahwa cara mengisi hak pekerjaan pada BUMN yang 20% dan badan swasta 10% harus diimbangi dengan ketrampilan kerja, selain bersama-sama dengan komunitas. Sehingga ketika kembali ke tengah masyarkat, para OYPMK dan penyandang disabilitas diminta ketahanannya untuk tetap bisa bekerja, walaupun dikucilkan.
Kemerdekaan menjadi hak setiap warga negara Indonesia, tanpa terkecuali OYPMK dan penyandang disabilitas. Masalah mendasar disabiltas dan kusta adalah masalah pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang belum well understanding. Sosialisasi menjadi penting ditingkatkan dimasyarakat, begitupun dengan OYMPK dan penyandang disabilitas harus senantiasa belajar agar kembali ke masyarakat. Menyadari bahwa juga memiliki hak yang sama dan juga kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara tidak langsung terkait pengetahuan.
Comments
Post a Comment