Indonesia masih belum terbebas dari kusta. Penyakit yang sudah ada sejak tahun 1400 sebelum masehi ini, masih mengintai sebagian masyarakat Indonesia hingga kini. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencatat prevalensi kasus penyakit kusta di Indonesia hampir 20 ribu penderita hingga akhir Januari 2020. Mayoritas kasus terjadi di wilayah Indonesia Bagian Timur
Adalah kabupaten Bone, salah satu wilayah yang masih tinggi jumlah kasusnya. Diawal pandemi Covid-19 membuat upaya pendeteksian dini dan penemuan kasus kusta menjadi terhambat dikarenakan penerapan protokol kesehatan yang membatasi ruang gerak untuk berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan. Meski demikian, program pemberantasan kusta di Kabupaten Bone tidak dapat dihentikan dan tetap harus dijalankan untuk menghindari terjadinya penularan yang dapat meluas di masyarakat.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, angka prevalensi penyakit kusta di Kabupaten Bone sebelum pandemi Covid-19 berada pada rata-rata 2,5 per 10.000 penduduk. Tetapi di masa pandemi Covid-19, angka prevalensi menurun secara signifikan menjadi 1,7 per 10.000 penduduk di tahun 2020.
“Membandingkan temuan kasus kusta tahun 2019 dengan tahun 2020 itu terjadi penurunan dari kasus 195 di tahun 2019, turun menjadi 140 di tahun 2020. Jadi terjadi penurunan sekitar 55 orang atau sekitar 28%,“ ujar Wasor (Wakil Supervisor) Kusta Kab. Bone Komarudin, S.Sos. M.Kes saat berbicara dalam talkshow Ruang Publik mengenai Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas yang diadakan oleh KBR dan NRL Indonesia, Senin (31/05)
Ia menyebutkan, dalam melaksanakan aktivitas di masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan dengan melakukan prinsip 5M. Program kerja tersebut yaitu pemberian obat pencegahan kusta atau kemoprofilaksis, pemeriksaan penderita kusta baik yang sementara berobat maupun sudah RFT (Release From Treatment), melakukan kegiatan school survey atau pemeriksaan anak sekolah, kampanye eliminasi kusta di desa-desa, dan Intensifikasi Case Pending (ICF) dengan memberdayakan kader, bidan dan tokoh-tokoh masyarakat.
Geliat pemberantasan kusta di Kabupaten Bone tidak hanya melibatkan tenaga kesehatan saja, tetapi juga mengajak OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) dan kader yang ada di desa baik kader yang sudah terlatih kusta maupun yang tidak terlatih. Disinilah para kader ini berperan dalam melakukan pendataan apabila diketemukan masyarakat yang memiliki kusta maupun kelainan kulit. Dari pendataan tersebut, maka dilakukan penyuluhan menyeluruh baik di desa-desa maupun di tingkat sekolah. OYPMK pun diberdayakan dengan dilatih memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan melakukan testimoni dalam setiap kegiatan kemasyarakatan yang diikuti.
Tak terbatas melalui penyuluhan penyakit kusta kepada masyarakat, upaya mencegah kecacatan bagi pasien kusta pun dilakukan dimana pasien kusta baik yang sementara berobat maupun yang sudah RFT/OYPMK perlu melakukan pemeriksaan terhadap 3 hal yaitu tangan, mata dan kaki setiap melakukan aktivitas sehingga secepatnya dapat ditindaklanjuti dengan pengobatan maupun perawatan diri. Dan penderita kusta yang terlanjur cacat perlu berobat secara rutin ke puskesmas dan melalukan monitoring pemeriksaan fungsi syaraf.
“Setiap pasien penderita kusta atau OYPMK harus mengetahui cara untuk mencegah kecacatan dan harus tau bagaimana ia merawat dirinya sesuai cacat yang dialaminya. Selain itu juga kita harus memberdayakan OYPMK, dilatih untuk berbicara penyuluhan kepada masyarakat dan minimal dia bisa melalukan testimoni. Kemudian mereka dilatih untuk mendaur ulang barang-barang bekas untuk jadi barang produktif, supaya mereka berperan aktif di kegiatan kemasyarakatan”, ujarnya
Sementara itu, Direktur Eksekutif The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi-JPIP Rohman Budijanto menambahkan meski jumlah penderita kusta tidak terlalu besar dalam prosentase di masyarakat. Sekecil apapun, mereka adalah warga negara Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian. Karena problem penyakit kusta adalah kemandiriannya. Mereka mendapatkan stigma sehingga sangat sulit bergerak di masyarakat. “Pendampingan intensif agar mereka betul-betul sembuh. Perlu diedukasi, intinya mereka agak susah ketemu dengan orang lain dan orang lain juga tidak mau ketemu mereka. Di didik dengan keterampilan online, berbisnis secara online agar mereka lebih aman juga, lebih dari stigma tersebut dan orang lain merasa tidak ragu untuk kontak dengan mereka,” katanya.
Comments
Post a Comment